Pengabenan-di-Bali

Bali dengan Taksu dan Keleluhurannya

Bali – Jawaban bagi mereka yang mencari kedamaian hati.

Mendengar kata Bali mungkin sudah tidak asing lagi di telinga para traveler. Tempat-tempat wisata yang mempesona sudah menjadi topik mainstream kalau kita membahas Bali. Rasanya klise kalau kita menjustifikasi bahwa wisatawan yang menginjakkan kakinya ke Bali karena terbius dengan keindahan pulau nya. Kalau kita memandang dari segi alamnya tentu banyak negara atau pulau diluar sana yang jauh lebih menakjubkan ketimbang Bali, misalnya Zhangjiajie National Park di China, Staubbach Falls di Swiss, Phuket di Thailand dan masih banyak lagi, bahkan wisata alam di Nusa Tenggara Timur pun tidak kalah memukau. Lebih dari itu, esensi yang menjadi magnet dari pulau Bali untuk menarik pengunjungnya adalah kesakralan adat istiadat yang beraroma magis.

Sudah menjadi pengetahuan umum kalau pulau Bali dijuluki sebagai Pulau Dewata, karena begitu banyaknya bangunan suci pura yang mendominasi eksotisnya pulau Bali. Hampir di setiap rumah ada pelinggih atau pura, khususnya rumah yang ditempatkan oleh sebuah keluarga yang beragama mayoritas di Bali, yaitu Hindu dipastikan memiliki pelinggih. Pura-pura untuk masyarakat umum Hindupun banyak berdiri seperti pura terbesar Besakih dan Lempuyang pura tertinggi di Bali.

Kebudayaan yang unik dan beragam dengan kentalnya baluran adat istiadat merupakan sebuah identitas yang membangun Bali. Kesenian adalah salah satu kebudayaan yang menonjol dari jati diri Bali itu sendiri, seperti seni tari, lukis, pahat atau ukir. Dalam karya seni tersebut terdapat filosofi-filosofi yang di istiadatkan oleh adat di Bali, contoh nya pada masing-masing tarian Bali mempunyai filosofi tertentu, misalkan kita ambil salah satu tarian yang bernama Tari Barong, tarian ini mempunyai filosofi pertarungan abadi antara kebajikan dan kejahatan. Artinya, kebaikan dan kejahatan selalu berdampingan, keduanya menjadi bagian dalam kehidupan manusia.

Kesenian tersebut diatas tentunya mengandung suatu nuansa, salah satunya nuansa keindahan, dimana nuansa keindahan ini bisa menularkan perasaan terbaik dari sang seniman kepada orang yang sudah terbangkitkan oleh karyanya. Disinilah kita memahami bahwa ada nilai magis yang terkandung dalam sebuah karya seni. Membubuhi unsur seni juga bisa dilihat dari ritual keagamaan atau adat di pulau ini, contoh yang paling sederhana dimana dalam keagamaan Hindu di Bali kita menggunakan sarana Canang Sari dalam persembahyangan sehari-hari. Dalam bahasa Kawi atau Jawa Kuno, arti kata Canang pun berasal dari suku kata “Ca” yang berarti indah, sedangkan “Nang” berarti tujuan atau maksud, dan salah satu isi yang melengkapi Canang Sari adalah bunga yang berwarna warni. Dengan memandang kecantikan dari Canang Sari itupun akan menimbulkan perasaan senang. Begitulah cara kerja sebuah karya seni yang bisa mempengaruhi perasaan seseorang yang menikmatinya.

Menyelisik suasana kehidupan di Bali akan memperlihatkan intensnya masyarakat di pulau ini dalam melaksanakan upacara keagamaan. Dalam kesehariannya selalu menunjukkan ketulusan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui persembahyangan ke pura-pura. Kadang dalam sebulan dihabiskan separuh waktu dari satu kurun bulan tersebut untuk kegiatan upacara. Apalagi disaat odalan (hari raya) besar di pura tertentu, masyarakat yang bersangkutan menghabiskan waktunya mempersiapkan upakara-upakara dan sebagainya selama sebulan penuh bahkan lebih. Berbagai macam banten (upakara) yang dipersembahkan, pertunjukkan tari-tarian khusus yang diiringi dengan tabuhan gamelan serta menembangkan kidung-kidung suci (ditujukan kepada para dewa) selama odalan tersebut semakin memperkuat citra Bali sebagai pulau para dewa.

Selain itu tradisi keagamaan lainnya yang menyorot perhatian dunia adalah Hari Raya Nyepi. Makna dari perayaan Hari Raya Nyepi bagi kami umat Hindu di Bali adalah meninggalkan aktivitas duniawi dalam keheningan yang bertujuan untuk menemukan jati diri sehingga mendapatkan keseimbangan antara diri dengan alam semesta. Sehari sebelum jatuhnya Hari Raya Nyepi ada kegiatan atraktif yang menggelitik hati para pengunjung adalah mengarak ogoh-ogoh (boneka raksasa) oleh masyarakat sekitar. Ogoh-ogoh diarak mengelilingi banjar atau desa setempat dan diiringi masyarakatnya khususnya para remaja membawa obor yang terbuat dari bambu dan sabut atau batok kelapa tua kemudian di isi sumbu serta minyak tanah untuk dinyalakan apinya. Proses mengarak ogoh-ogoh pun mempunyai beberapa makna, sederhananya sebagai penggambaran sifat buruk manusia yang harus di musnahkan atau upaya pengusiran keburukan dan roh jahat.

Kemudian ada tradisi Melukat, yaitu upacara pembersihan pikiran dan jiwa secara spiritual dalam diri manusia dengan air suci. Pada masa sekarang ini, Melukat tidak hanya sebagai ritual khusus yang diterapkan oleh masyarakat lokal saja tetapi sudah menjadi kegiatan wisata healing yang menjadi daya pikat bagi para wisatawan domestik maupun mancanegara di Bali.

Kalau kita membahas lebih lanjut tentang kebudayaan, upacara keagamaan, maupun tradisi adat di Bali tentu nya masih sangat banyak yang bisa kita kulik, bahkan membutuhkan ahlinya untuk menguraikan secara terperinci dan akurat, karena di setiap daerah di Bali juga memilik tradisi yang khas dari daerah mereka masing-masing. Di sini penulis hanya memberikan beberapa representasi umum saja untuk bisa memaparkan substansi aroma magis yang terkandung dalam adat istiadat, kebudayaan dan keagamaan di Bali sebagai suatu rantaian taksu untuk memancing para wisatawannya. Begitulah dikatakan Bali Metaksu, pemahaman naifnya bahwa Bali memiliki daya pukau tinggi, karisma dan pesona yang bersifat metafisik yang di yakini sebagai manifestasi dari kekuatan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa.

Bersambung di halaman Keleluhuran di Bali

Share this post

Scroll to Top